
Kota Semarang (Humas) – Menyadari pentingnya akan penguatan strategi dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan dan stakeholder terkait dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, Penyuluh Agama Kemenag Kota Semarang hadir dalam kegiatan Diskusi dan Gelar Karya Perempuan yang diselenggarakan oleh DP3AP2KB dan PKK Prov. Jateng, serta LRC KJHM, yang dilaksanakan di Gedung Wanita, Kamis (31/7/2025).
Menurut Siti Wachidah, Penyuluh Agama Islam Kankemenag Kota Semarang selaku salah satu peserta kegiatan mengatakan, kegiatan ini merupakan refleksi 41 tahun ratifikasi CEDAW melalui UU nomor 7 tahun 1984. “Masih banyak perempuan yang mengalami kekerasan bahkan juga mengalami hambatan-hambatan dalam mengakses keadilan. Belum ada satu pun kasus kekerasan seksual dewasa yang dapat diproses pidana karena ada stigma suka sama suka,” ungkapnya.
Ia menambahkan, UU nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS) belum berjalan secara optimal.
Diskusi turut mengundang 98 instansi/lembaga/organisasi, baik Pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, organisasi kemahasiswaan, pondok pesantren, ormas sipil, bank, jurnalis, maupun perusahaan.
Hadir pula empat narasumber dalam kegiatan itu yakni, Witi Muntari, Direktur LRC KJHAM. Ia mengemukakan, sejak tahun 2020 hingga Juni 2025, ada 650 perempuan menjadi korban kekerasan, dan mirisnya setengahnya mengalami kekerasan seksual. Menurutnya, ini menjadi tanggung jawab bersama.
Keprihatinan ini juga disampaikan Wagub Jateng melalui sambutannya yang dibacakan oleh Kabiro Hukum, Khoirudin. Wagub berharap, melalui diskusi tersebut mampu memperkuat jejaring kerja, merumuskan solusi bersama dan meningkatkan partisipasi publik dalam memperjuangkan keadilan gender dan transformatif.
Dikatakannya, kasus di Jawa Tengah tahun 2024 ada 1.019 Kasus perempuan yang melapor, dan dimungkinkan banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Menurut Wagub ada 3 hal penting sebagai refleksi dan arah kebijakan kedepan yaitu, negara tidak boleh absen, kewajiban negara untuk memberikan hak atas perlindungan hukum, pelayanan yang bermartabat, dan pemulihan yang menyeluruh. Kedua, kolaborasi adalah kunci upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, strategi kolaboratif bisa menjadi kekuatan bersama untuk mendorong transformasi sosial. Yang terakhir, pentingnya kebijakan yang berpihak. Kebijakan yang bias tentang gender harus dikaji ulang secara kritis.
Ema Rahmawati dari DP3AP2KB Prov. Jateng mengutarakan, kebijakan perlindungan perempuan dan pengimplementasian CEDAW, yang mana negara harus berkomitmen untuk melakukan serangkaian tindakan guna mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan melalui pengimplementasian pada memadukan prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam sistem hukum, membentuk pengadilan dan lambaga-lembaga publik untuk menjamin perlindungan yang efektif bagi perempuan dari diskriminasi, dan memastikan penghapusan segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan oleh individu, organisasi/perusahaan.
Sedangkan Hj. Nawal Arofah Yassin, Ketua TP PKK Prov. Jateng menguraikan, 1 dari 4 perempuan Indonesia usia 15-64 th pernah mengalami kekerasan, terutama perwmpuan di pedesaan, diantaranya KDRT, perdagangan perempuan, perkawinan anak, serta eksploitasi dan ekonomi.
Ia menambahkan, saat ini telah terbentuk 600 kader Perak (Perkumpulan Perempuan Usaha Ekonomi) yang merupakan pendampingan TP PKK Jateng.
Selanjutnya, Waket LPSK, Sri Nurherwati menceritakan, tugas pokok LPSK dalam membantu dan mlindungi laporan saksi dan korban dalam mencari keadilan hingga tuntas, serta proses pidana sampai restitusi.
“Bahasan ini pun begitu gayeng. Banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta yang begitu antusias mendengarkan setiap paparan yang disampaian narsum,” papar Hendri Pramudya, Penyuluh Agama Kememag Kota Semarang lainnya yang ikut hadir dalam diskusi itu.
“Di akhir diskusi, disampaikan beberapa kesimpulan sebagai rekomendasi Pemerintah Jawa Tengah untuk mengambil kebijakan selanjutnya,” pungkasnya.(Wachidah/Nba/Alan)