Kota Semarang (Humas) – Jumat (13/12/2024), sejumlah 60 siswa dan guru di Kota Semarang yang terdiri dari Ketua OSIS, Ketua ROHIS, dan beberapa Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) mengikuti Seminar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan yang diselenggarakan oleh Direktorat PAI Kemenag RI di Hotel MG Setos.
Pada kesempatan itu, hadir pula Muhtasit Kakankemenag Kota Semarang dan juga Kasi PAI Kantor Kementerian Agama Kota Semarang beserta jajarannya.
Dalam sambutannya, Muhtasit berpesan, GPAI selayaknya menjadi inspirator tentang Islam rahmatan lil alamin. “Indonesia merupakan negara pluralisme, yakni negara yang menghargai perbedaan, mengakui keberagamana, untuk menjaga keunikan budayanya. Keberagama yang kita miliki merupakan suatu anugerah yang harus kita syukuri dengan cara selalu menjaga kerukunan atas keberagaman suku bangsa, etnis, budaya, dan agama. Guru Pendidikan Agama Islam kita harapkan menjadi role model bahwa Islam merupakan agama yang membawa pesan kedamaian, menjunjung tinggi perbedaan,” tuturnya.
Hal senada disampaikannya kepada peserta seminar, agar Ketua OSIS dan Ketua ROHIS juga menjadi teladan di lingkungannya dalam menjaga toleransi, komitmen kebangsaan, menghargai tradisi, dan anti kekerasan maupun bulliying.
Menurutnya, hal yang tak kalah penting ikut diperhatikan adalah mencegah kekerasan seksual baik di lingkungan madrasah/sekolah maupun masyarakat sekitar. “Bagaimana agar kita terhindar dari kekerasan seksual? Salah satunya dengan memiliki keinginan kuat untuk fokus dan terus berkarya sampai suskes. Kalau di lingkungan sekitar kita ada pergaulan yang salah maka cari komunitas yang baik misalnya komunitas anak saleh,” ujarnya.
Muhtasit mengapresiasi terselenggaranya seminar yang bertujuan mengedukasi siswa agar terhindar dari kekerasan seksual pada anak. Ia menerangkan, upaya Kemenag lainnya dalam mencegah kekerasan seksual juga melalui pemberian bimbingan perkawinan pra nikah bagi mahasiswa berusia diatas 21 tahun, dan bimbingan perkawinan pra nikah remaja usia sekolah atau siswa berusia kurang dari 21 tahun yang diberi nama BRUS. “BRUS bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada remaja tentang pentingnya menunda pernikahan dini, karena banyak dampak negatif dari pernikahan dini, salah satunya kekerasan seksual,” paparnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan pendalaman materi yang disampaikan oleh narasumber tentang bagaimana cara mencegah dan menangani kekerasan seksual di lembaga pendidikan.(Dina/Tina/Nba)