
Kota Semarang (Humas) – Fenomena saat ini laki-laki seringkali terlibat sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak, guna merubah paradigma tersebut agar laki-laki menjadi aktor yang mencegah perilaku kekerasan, Penyuluh Agama Kemenag Kota Semarang, selama dua hari (29-30 Juli 2025), diajak oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dalam kegiatan FGD Peningkatan Partisipasi Laki-Laki dalam Pencegahan KTP, KTA, TPPO, ABH dan Perkawinan Anak di Kota Semarang di Hotel Front One HK Resort, Jl. Kesambi Hijau Semarang.
Ricky Wasito selaku Wakil Ketua Pokjaluh yang hadir pada hari pertama menyebutkan, kegiatan ini sebagai upaya pemetaan tugas dan peran Kemenag melalui penyuluh agama dalam ikut mengkampanyekan pentingnya peran laki-laki dalam pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan, Kekerasan terhadap Anak, Human Trafficking, Pendampingan kepada Anak yang bermasalah dengan hukum dan perkawinan anak.
“Selain saya, kami para penyuluh agama yang hadir yakni, Muklis, Zahrotunnisa, Elfi Mu’tashimah, Varida Indah, Nanik Zulfa, Farida Usriyyah dan Henri Pramudya, mendapat banyak manfaat dari FGD ini dan sangat menunjang arah tugas kami ke depan yang berbasis keluarga dalam komunitas,” ujar Ricky.
Kegiatan dibuka oleh Kepala DP3A Kota Semarang. Dalam sambutannya, Nugroho Edy mengatakan, kegiatan ini perlu dilakukan mengingat tingginya kasus tersebut di Kota Semarang. “Kami rasa kegiatan seperti ini sangat diperlukan karena kasus kekerasan misalnya terhadap perempuan di Semarang pada tahun 2024 sebanyak 286, dan sampai bulan Juli 2025 sudah 170 kasus baru,” tuturnya.
“Saya berharap, dengan adanya kerjasama semua unsur terkait, dapat menurunkan angka kekerasan. Dan penyuluh agama dapat andil dalam merubah norma di masyarakat yang cenderung membentuk laki-laki berisiko sebagai pelaku kekerasan menjadi anti kekerasan terhadap perempuan dan anak,” sambungnya.
Pemapaparan materi disampaikan oleh Nur Hasyim, Kuriake Kharismawan dan Paulus Mujiran. Menurut Nur Hasyim, laki-laki merupakan aktor terbanyak dalam melakukan kekerasan. “Menurut data KPPA tahun 2022, kebanyakan pelaku KTP dan KTA adalah laki-laki, ABH kebanyakan adalah laki-laki, laki-laki dalam konteks ayah memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan, termasuk perkawinan anak dan sebagian besar sindikat perdagangan orang adalah laki-laki,” paparnya.
Lebih lanjut, Nur Hasyim memberikan alasan mengapa laki-laki berisiko menjadi aktor kejahatan. “Alasan laki-laki berisiko menjadi pelaku kejahatan terhadap perempuan dan anak adalah karena status dan kedudukan sosialnya yang tinggi, sehingga mereka memiliki previlese, kekuasaan dan dapat mengakses sumberdaya yang besar. Dengan kata lain, laki-laki menempati posisi strategis dalam masyarakat,” ungkapnya.
Pada akhir paparannya, Hasyim menguraikan apa saja peran laki-laki dalam upaya pencegahan kejahatan. “Peran laki-laki dalam pencegahan kejahatan terhadap perempuan dan anak dibagi menjadi tiga yaitu, peran laki-laki sebagai individu, sebagai pasangan, dan sebagai agen perubahan sosial,” jelasnya.
“Sebagai individu, mereka harus mengubah cara berfikir lama yang mengukur kelelakian dari kekuatan fisik, dominasi, superioritas, menjadi kepedulian, cinta kasih, kesabaran, komitmen, dan anti kekerasan. Sebagai pasangan, laki-laki harus mengedepankan cara negosiasi, kompromi, dan kepentingan pasangan dalam mengambil keputusan, dan menyelesaikan masalah. Sedangkan sebagai agen perubahan sosial, mereka harus aktif dalam mendorong keterlibatan laki-laki dalam penghapusan tindak kejahatan terhadap perempuan dan anak, juga aktif dalam upaya menghapuskan norma-norma sosial yang berbahaya lalu mengupayakan terciptanya norma sosial yang melindungi perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan,” imbuhnya.
Selanjutnya, Kuriake Kharismawan selaku narasumber lainnya, menggunakan pendekatan psikologi dalam pencegahan kekerasan. “Strategi psikologis dapat dilakukan untuk pencegahan kekerasan yaitu dengan mendekonstruksi maskulinitas, memberikan pelatihan empati, menggunakan teori kognitif-behavioral, dan melakukan edukasi-advokasi tentang peran laki-laki sebagai duta perubahan,” tandasnya.
Imbuhnya, mediasi dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik. “Mediasi adalah proses penyelesaian konflik yang melibatkan pihak ketiga yang netral. Ada tiga teknik efektif yang dapat digunakan yaitu, teknik empatik dengan mendengarkan pengalaman korban, teknik keadila restorative dengan fokus pada perbaikan hubungan bukan dengan hukuman, dan teknik cognitive behavioral dengan membantu pelaku mengenali pola pikir yang memicu kekerasan,” ucapnya.
Pemateri terakhir, Paulus Mujiran. Ia mengatakan, kejahatan tidak hanya terjadi di kehidupan nyata saja. “Kejahatan dan kekerasan sekarang sudah merambah di media online seperti, adanya materi yang menampilkan kekerasan/eksploitasi anak, grooming online untuk tujuan seksual, sexting, pemerasan seksual, streaming seksual, dan cyber-bullying,” terangnya.
Paulus merasa prihatin dengan adanya kekerasan online ini, karena kebanyakan korban masih berusia dibawah umur. “Kekerasan online kebanyakan menyasar anak berusia dibawah 15 tahun, karena mereka belum memiliki kematangan emosional dan kognitif dalam menghadapi ancaman online, juga karena minimnya literasi digital dan kurangnya pendampingan dari orang tua,” katanya.
Lebih lanjut, Paulus memberikan solusi atas kejahatan online. “Untuk mengantisipasinya (kejahatan online) maka dapat dibuatkan sosialisasi tentang dimana tempat melaporkan kejahatan, dibuatkan layanan perlindungan anak, pembenahan sistem pendidikan, peningkatan peran aktif orang tua dalam mengawasi anak, serta kerja sama dengan pihak swasta yang bergerak diteknologi informasi,” bebernya.
Pada sesi terakhir, para peserta diminta membuat rencana tindak lanjut sebagai bentuk nyata upaya penurunan angka kekerasan dan kejahatan yang terjadi di Kota Semarang.(Hp/Nba)