
Kota Semarang (Humas) – Siti Wachidah, Penyuluh Agama Islam Kankemenag Kota Semarang mengikuti kegitan Penggerakan dan Pemberdayaan Masyakat dalam Pencegahan dan Penanganan Anak Berkonflik Hukum (ABH) yang diselenggarakan di ruang Parahita Eka Praya Lt. 3 DP3AP2KB Prov. Jateng, Senin (28/7/2025).
Wachidah berujar, penanganan ABH membutuhkan keterlibatan banyak pihak, sehingga kegiatan ini turut mengundang perwakilan 12 instansi pemerintah dan 30 Ormas di wilayah Jawa Tengah.
“Ibu Ema Rahmawati selaku Kepala DP3AP2KB Prov. Jateng memaparkan, penanganan ABH tidak semudah pada kasus dewasa, banyak tahapan yang harus dilalui. Tak hanya itu, perlu dipahami bersama bahwa anak bisa jadi pelaku, anak bisa jadi korban, atau anak bisa jadi saksi,” tutur Wachidah.
Wachidah cukup prihatin akan kurangnya perhatian masyarakat terhadap permasalahan tersebut. “Menurut Ibu Ema, sebagian besar masyarakat kita belum memiliki konsen terhadap anak, sehingga anak-anak sering kali tidak mendapatkan keadilan, baik dari masyarakat maupun para pemangku kepentingan. Disinilah kita dihadirkan untuk duduk bersama bagaimana agar ABH bisa mendapatkan perhatian yang lebih fokus,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Wachidah mengemukakan beberapa kasus ABH seperti, perundungan, pelecehan seksual, hingga pembunuhan. “Yang perlu dilakukan, lindungi dulu anak agar jangan jadi korban lagi. Jika anak berABH, perlu dilakukan edukasi bagaimana masyarakat memberikan perlindungan. Sedangkan kasus antar anak, diversi/restorasi justice (RJ) diutamakan kecuali pidana layaknya pembunuhan, itu harus melalui proses peradilan. Dan perlu diingat, pemberian hukuman RJ bersifat disiplin yang mendidik, seperti kerja sosial,” ujarnya.
“Selanjutnya, jika anak masuk BAPAS, bagaimana masyarakat bisa menerima anak tersebut setelah keluar dari BAPAS, masyarakat harus teredukasi dengan baik agar tidak malah melakukan bullying. Bahwa apabila mereka masih umur sekolah, maka sekolah harus bisa menerimanya kembli untuk melanjutkan pendidikan,” sambungnya.
Perwakilan Kemenag Kota Semarang menambahkan, selain Kepala DP3AP2KB Prov. Jateng, materi lain juga disampaikan oleh Puguh Setiawan Jhody dari Bapas Kelas 1 Semarang, yang menerangkan akan adanya regulasi terkait pidana alternatif bagi ABH. “Regulasi ini perlu, karena tidak semua tindak pidana diselesaikan dengan penjara, apalagi saat ini Lapas sudah over kapasitas. UU SPPA berorientasi pada pendidikan anak. ABH yang masih bersekolah, selama proses hukum agar jangan dikeluarkan dari sekolah.
Saat ini usia anak ABH antara 15-17 tahun, dan 80% nya masih mengenyam pendidikan di bangku SMP,” terang Wachidah menirukan penjelasan narsum.
Pemateri lain, Fathurrozi, seorang fasilitator dari DP3AP2KB Prov. Jateng. Dalam kesempatan itu, membagi peserta dalam 3 kelompik diskusi untuk membahas langkah dan program apa yang perlu dibuat/dilakukan guna memastikan ABH tetap mendapat pendidikan, layanan, pemulihan (psikologi), serta keterampilan secara holistik dan integratif. “Hasil diskusi menjadi catatan/rekomendasi untuk langkah selanjutnya,” pungkas Wachidah.(Wachidah/Nba)