
Kota Semarang (Humas) — Di tengah riuh lalu lintas kota yang padat, para pengemudi ojek online (ojol) tak hanya menjadi penggerak ekonomi digital, tetapi juga bagian penting dari narasi kebangsaan “Menjaga Keberagaman dengan Kepala Dingin, Hati Luas, dan Pikiran Terbuka”.
Rabu (24/9/2025), bertempat di Ruang Pertemuan Kurnia Seafood, Jalan Kompol Maksum, Kecamatan Semarang Selatan, digelar acara bertajuk “Kemitraan Strategis Pemerintah dan Ojek Online dalam Menjaga Situasi Kondusif Menuju Semarang Damai. ”Forum ini menghadirkan perspektif yang berbeda, bukan soal tarif atau insentif aplikasi, melainkan tentang moderasi beragama.
Puluhan pengemudi yang tergabung dalam komunitas Sako (Satu Komando) mengikuti kegiatan tersebut. Syarif Hidayatullah, penyuluh agama Kementerian Agama (Kemenag) Kota Semarang, membuka dengan pertanyaan sederhana namun menyentuh. “Siapa disini yang Kristen? Katolik? Penghayat kepercayaan?” tanya Syarif. Beberapa tangan terangkat, ragu tapi mantap. Syarif tersenyum, lalu menegaskan bahwa hak setiap pemeluk agama dilindungi oleh negara. “Itu hak Anda semua, dilindungi konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 29 dan nilai-nilai Pancasila,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Syarif menekankan perbedaan antara beragama modern dan moderat. “Modern itu soal teknologi. Moderat itu soal sikap,” tandasnya. Dikatakannya, sikap itu diwujudkan dalam empat pilar moderasi beragama yakni, toleransi, anti kekerasan, wawasan kebangsaan, dan penghargaan terhadap kearifan lokal. Menurutnya, nilai-nilai tersebut sudah hidup dalam keseharian para pengemudi ojol seperti menahan emosi saat ditilang, menghormati penumpang dengan keyakinan berbeda, hingga menolak provokasi dari pesan hoaks di media sosial.
Ia juga mendorong lahirnya forum silaturahmi lintas iman dan profesi sebagai wadah memperkuat persaudaraan. “Perpecahan sering terjadi karena kita lebih ingin dihormati daripada ingin menghormati,” ungkapnya penuh makna.

Selain Syarif, hadir pula perwakilan aparat keamanan dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Semarang.
Namun, yang tak kalah penting adalah respon dari komunitas ojol sendiri. Adi Setiawan, Sekjen Sako menegaskan, menjaga kondusivitas bukan hanya tugas ojol. “Masyarakat harus memberi empati, dan pemerintah hadir dengan kebijakan yang adil,” katanya.
Dari sesi tanya jawab, muncul beragam harapan, mulai dari BPJS tenaga kerja gratis, kepastian regulasi ojol, hingga rencana audiensi dengan Gubernur dan Kapolrestabes. Meski begitu, pesan utama yang mengemuka tetap sama yaitu, kedamaian adalah kerja bersama, bukan sekadar narasi.
Di tengah meningkatnya polarisasi sosial, identitas yang kerap dijadikan alat politik, serta maraknya hoaks di media sosial, komunitas Sako memilih jalan moderasi. Mereka mungkin tak viral, tapi nyata hadir di jalanan sebagai penjaga harmoni. Seperti disampaikan Syarif bahwa menjadi moderat bukan berarti lemah, melainkan keberanian berdiri di tengah saat banyak orang memilih di pinggir. “Dalam dunia yang terpolarisasi, sikap moderat justru adalah tindakan paling radikal,” paparnya.
“Jika semangat moderasi bisa tumbuh di antara helm, jaket hujan, dan notifikasi orderan, maka harapan untuk Indonesia damai masih ada,” pungkasnya.(Pram/Nba)