Semarang, 20 Juli 2016. Penguasaan media yang berisi konten Islam damai dalam pengamalan kaagamaan guna menandingi konten yang bernuansa radikal sangat mendesak untuk segera diwujudkan oleh ormas keagamaan dan beberapa pondok pesantren guna meminimalisir pemikiran radikal yang agresif menguasai internet dewasa ini, demikian disampaikan oleh AKBP Surya Putra, MIK dalam FGD yang diadakan oleh
Satuan intelkam polrestabes semarang pada hari Rabu 20 juli 2016 ini dengan tema “kupas tuntas akar radikalisme dan terorisme dan strategi penanggulangan isis melalui kontra radikalisme serta deradikalisasi dalam rangka mewujudkan stabilitas kantibmas di kota semarang” di merapi room hotel grasia semarang.
Diskusi yang dipandu oleh Syarif Hidayatullah, S.Ag (penyuluh agama islam kemenag kota semarang) ini dihadiri oleh 100 peserta yang terdiri dari ormas islam, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta aparat kepolisian di lingkungan polrestabes dan polsek se kota semarang itu bertujuan untuk memupuk komitmen dalam menanggulangi pemahaman radikal yang berpotensi menimbulkan instabilitas di kemudian hari.
Focus Group Discussion ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Nasir Abbas (eks napi teroris dan mantan komandan mantiqi III Jamaah Islamiyah), AKBP I Putu Gede Surya Putra, MIK ( Kepala Pusat Latihan Anti Teror Indonesia / PLATINA) dan Prof. Dr. H. Koeswinarno ( Kepala Balai Litbang Agama Semarang) ini bermaksud menguatkan tekad elemen masyarakat dan aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian agar tidak takut kepada aksi teror, karena dengan “ketidaktakutan” ini akan memberikan rasa kecut kepada para teroris bahwa pesan mereka tidak sampai di masyarakat.
AKBP Surya Putra menceritakan saat kejadian pasca bom thamrin, masyarakat sekitar TKP menunjukkan sikap wajar dan biasa saja, seolah tidak ada aksi terorisme. Demikian pula pasca bom mapolresta surakarta, masyarakat tetap jogging sebagaimana biasa tanpa rasa takut. Pesan terorisme untuk memunculkan rasa takut di masyarakat tidak tercapai.
Sebagai mantan pimpinan JI, Nasir Abbas menambahkan bahwa banyak pelaku teror saat ini jauh dari niat jihad sebenarnya. Mereka banyak terinspirasi oleh konflik global dan lebih banyak bernuansa kemarahan. Konflik global yang bertajuk jihad dan khilafah yang diusung ISIS saat ini justru semakin memojokkan dunia Islam. Ajaran jihad yang begitu mulia menjadi momok untuk diajarkan secara umum di masyarakat muslim, meskipun di beberapa lembaga dakwah yang dicap radikal masih tetap diminati.
Hasil penelitian Balai Litbang Agama Semarang Kementerian Agama tahun 2016 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. H. Koeswinarno menunjukkan bahwa materi jihad masih paling unggul yaitu sekitar 21% diajarkan oleh 10 lembaga / ormas keagamaan di tiga provinsi yaitu Jateng, Jatim dan DIY yang menjadi sasaran penelitian sejak januari sd mei 2016 ini. Selebihnya materi thogut dan khilafah masing-masing 9% serta amar ma'ruf nahi munkar dan takfiri masing-masing 8%.
Kepala balitbang agama semarang ini juga menegaskan bahwa nuansa sosial sebenarnya lebih banyak mendominasi beberapa gerakan keagamaan. Sehingga mereka lebih cenderung terlihat sebagai gerakan sosial, bukan gerakan keagamaan. Cirinya adalah adanya mobilisasi untuk menggerakkan jamaahnya untuk merespon gejala sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Aktifnya mereka menyebar pemikiran dan pemahaman terkait isu-isu sosial di medsos sebagai fakta bahwa mereka lebih layak disebut sebagai gerakan sosial.
Kegiatan FGD ini kemudian diakhiri dengan pembacaan dan penandatangan komitmen untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme serta kampanye anti kekerasan atas nama agama oleh ormas-ormas Islam seperti NU, muhammdiyah, banser, kokkam, LDII, MTA, FPI, HTI dan beberapa tokoh agama – masyarakat serta MUI Kota Semarang. (syarif/ Foto : Syarif)